Selasa, 03 Maret 2015

Tentang Tiga Maret

Tentang tiga maret,

72 tahun yang lalu, ada seorang bayi laki-laki menangis. Di sudut yang lain, beberapa orang bahagia, pun mungkin sambil menangis.
70 tahun kemudian, lelaki itu telah berusia senja. Ia kembali menangis. Di sudut yang lain,  ada seorang perempuan juga menangis, dan seorang laki-laki lain bahagia, pun mungkin sambil menangis.
71 tahun kemudian, ada seorang bayi laki-laki menangis. perempuan itu juga menangis (namun) bahagia dan laki-laki di sampinya juga bahagia sambil menangis. Di sudut yang lain, lelaki senja itu bahagia, pun mungkin sambil menangis.

Dalam setiap roda kehidupan, ada kalanya bagian atas kita pijak dan bagian bawah pun tak luput kita injak. Berlaku untukku, untukmu.


Ini tentang tiga maret. Penanggalan berdasarkan kalender masehi. Terlalu berlebihan rasanya menyebut tanggal ini sebagai tanggal yang special. Karena aku tidak pernah diajarkan untuk menkhususkan tanggal ini sebelumnya. Lalu mengapa kutulis ini?

Sebuah takdir. Bapak lahir pada tanggal 3 maret 1943, tanggal yang aku ketahui saat aku kanak-kanak. Dan aku maknai indah setelah aku remaja. Namun setiap tahunnya, makna indah ternyata hanya dalam anganku saja. Dan mungkin di sebagian doaku. Karena bapak yang punya tanggal itu biasa saja menjalaninya. Hanya kadang berceloteh kecil, “bapak uwes 60 tahun nduk, 3 tahun maneh usia krusial”. Serrr…ingat sekali aku kala itu. Sebuah tanggal yang ternyata jadi pengingat akan akhir dari kehidupan ini. Bapak juga selalu ingat akan usianya berdasarkan kalender hijriah. Hebat!! Karena aku tak pernah sekalipun melakukannya.

Bapak adalah laki-laki pertama bagiku, cinta pertama bagiku,hheee (ngutip pepatah kebanyakan). Tapi itu memang benar, tak ada laki-laki lain (yang masih hidup) yang lebih kuhormati, kucintai, kuanggap keberadannya, kudengar suaranya, kulakukan perintahnya selain beliau. Selain kewajiban yang memang harus kulakukan menurut aturan Islam, fitrah dan naluriku telah menggerakkan segalanya. Mengapa?
Karena bapaklah yang suka menggendongku saat aku kecil, mengajakku jalan-jalan. Membelikan ini itu tanpa dan dengan kuminta. Mengajariku mengaji, menyuruhku sholat. Bapak juga yang menceritakan tentang luasnya dunia kepadaku. Bapak yang mengantarkanku pada dunia buku dan sastra.         Bapak juga yang mengenalkanku pada kehidupan yang dinamis.
Bapak pula yang penuh peluh dan keringat demi mencukupi kebutuhan kami, keluarganya. Bapak yang bertindak tanpa ingin kami mengetahui betapa lelahnya hari yang dilaluinya.

Seringkah kita pikirkan tentang nya? Seorang laki-laki yang berani bertaruh untuk kehidupan kita? Seorang laki-laki yang berani memperjuangkan masa depan kita kelak? Dan yang paling berat baginya, dia menanggung dosaku sebelum aku menikah bila aku melakukan dosa. Ya Robbi….ampunilah dosa-dosa bapak kami…
Itulah bapakku, hanya secuil yang mampu kuungkapkan tentangnya. Dan kini bapak sudah tua. Rindu ia saat gagah dan terlihat muda. Dan aku masih digendong di badannya yang gempal namun sangat nyaman. Love u bapak…


Takdir kedua, aku menikah dengan suamiku pada tanggal 3 maret 2013. Saat bapak berusia 70 tahun. Dan kala itu ia sakit keras. Sebuah tangis dan bahagia yang benar-benar melebur menjadi satu. Suamiku, lelaki keduaku. Cinta keduaku. Di tanggal itulah sebuah amanah telah berpindah tangan. Bapak telah menyerahkan segala tanggung jawab lahir dan batin kepadanya, suamiku. Seorang laki-laki yang harus kuhormati dan kupatuhi perintahnya melebihi perintah bapak dan ibuku. Mengapa? Karena ini perintah agamaku. Seorang laki-laki yang telah bersedia menanggung kehidupanku seutuhnya. Suamikulah yang kini akan ditanya tentang segala amal perbuatanku. Ia yang juga akan ikut menanggung dosa yang kulakukan.
Dan Allah telah memberikan suami yang begitu luar biasa. Ia membuatku makin istimewa saat kutanggalkan status singelku dan menjemput status menjadi seorang istri dan ibu. Ia, seorang laki-laki yang meneruskan pelajaran bapak. Ilmu akhirat menjadi prioritas, agama menjadi pondasi dan pegangan. Duhai suamiku, semoga Allah menjagamu selalu dalam kebaikan.

Takdir ketiga, aku melahirkan anakku di tanggal 3 maret 2014. Tanggal yang sangat melengkapi kebahagiaan kami saat itu. Bayi mungil, sholeh, lucu, menggemaskan yang mampu membuatku bertaruh dengan apapun jua. Bila mengingat setahun yang lalu, kematian seolah-olah mengintai di jarak 1 cm di belakangku.
Laki-laki  ini, anakku, adalah sebuah harapan. Karena ialah, semangat kami makin meletup. Untuknya, sebuah masa depan telah kusiapkan. Mungkin ini yang telah dilakukan bapak dan ibuku ketika aku lahir.
Laki-laki ini, sebuah amanah yang sangat besar. Baik buruknya ia salahsatunya tergantung padaku. Ialah langkah awal aku dan suamiku untuk membentuk keluarga islami. Dan darinya semoga kami mampu membangun peradaban Islam bersama saudara seiman.

Tiga maret dengan tiga lelaki bersanding di hidupku. Tiga laki-laki yang membuat hidupku serasa utuh. Namun, rendah sekali jika hanya bahagia memiliki ketiganya karena dunia. Padahal, tiga lelaki inilah nanti yang akan ditanyai tanggung jawabnya kepadaku.
Bapakku, suamiku, anak lelakiku, dan saudara laki-lakiku turut ditanyai perihal perbuatanku di dunia. Sampai hatikah mereka yang telah memberikan cinta kasihnya kepadaku namun kubayar dengan melemparkan mereka ke neraka. Astaghfirullahal ‘adzim.
Tiga lelaki tiga generasi. Dari bapak aku selalu megingat tentang sejarah dan belajar tentang masa lalu. Dulu ia pernah mengalami masa-masa yang sedang kujalani. Dan kelak, aku pun (mungkin) akan menginjak di usianya. Bersama suamiku, semua mimpi akan kami nyatakan. Dengannya, hidup serasa lebih bermakna. Ia yang melengkapi separuh hidupku. Menggapai Ridho Allah sebenarnya tinggal selangkah kugapai. Karena dengan taat padanya, pintu surgaNya terbuka lebar untukku. Untuk anakku, investasi akhirat harus kupersiapkan. Dialah salahsatu amanah terbesar bagiku. Menjadikannya menjadi anak yang sholeh adalah lebih dari segala-galanya. Menjadikan dia mujahid adalah mimpi besarku. Semoga Allah selalu menjaganya untuk selalu berilmu dan berjuang di jalan Allah.

Ini tentang tiga maret yang mungkin akan kuingat ketiganya setiap tiga maret hadir. Harapan terbesarku adalah aku mampu membahagiakan ketiganya di dunia dan di akhirat. Minimalnya, tidak akan kubawa mereka menanggung dosaku.