Kamis, 02 Mei 2013

Istihadhoh


Kamis, 2 may 2013

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Alhamdulillah, masih diberikan kesempatan untuk kembali menulis dan berbagi. Bila yang lalu adalah cerita kesedihan karena keguguran yang terjadi. Kali ini saya akan membagi tentang materi Istihadhoh  yang masih juga erat kaitannya dengan keguguran yang saya alami.

Berawal dari kejadian yang tidak pernah saya duga. Sabtu, 27 April 2013 saya mengalami keguguran. Lepas dari kesedihan yang saya alami, saya mengalami kebutaan pemahaman tentang darah yang saya keluarkan ketika itu. Menurut dokter saya dinyatakan hamil. Jadi bisa dipastikan bahwa saya tidak mungkin mengeluarkan darah haid. Namun saya tidak melahirkan, maka juga bisa dipastikan saya tidak mengeluarkan darah nifas. Lalu darah apa yang saya keluarkan? Darah merah atau biru? Hehee

Kembali ke topik utama. Ternyata darah yang saya keluarkan disebut darah Istihadhoh. Menurut mazhab Asy Syafi’I, Istihadhoh adalah darah penyakit yang mengalir dari saluran rahim paling bawah yang disebut adzil. Sedangkan menurut Ar Ramli, Istihadhoh adalah darah yang ditemukan oleh perempuan pada dirinya, selain darah haid dan nifas baik darah itu bersambung dengannya atau tidak.

Sebenarnya apa beda darah haidh dan nifas juga istihadhoh?
§  Haidh memiliki waktu tertentu. Sedangkan istihadhoh tidak
§  Darah haidh adalah darah biasa yang keluar karena tidak ada kaitannya dengan suatu penyakit. Namun darah istihadhoh adalah darah yang keluar akibat adanya ketidaknormalan bagian tubuh.
§  Warna darah haidh adalah hitam pekat dan berbau tidak sedap. Sedangkan darah istihadhoh merah dan tidak begitu berbau.
§  Darah nifas hanya terjadi pasca melahirkan sedangkan istihadhoh bisa kapan saja.

Dari Aisyah  bahwa Fatimah binti Hubaisy datang kepada Rasulullah dan berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah perempuan yang mengalami Istihadhoh dan saya tidak bisa bersih. Apakah saya harus meninggalkan sholat?” rasulullah bersabda, “tidak, sesungguhnya ia adalah irq (keringat, penyakit) dan bukan darah haidh. Jika haidmu datang maka tinggalkanlah sholat dan jika selesai maka cucilah darahmu dan sholatlah. “

Lalu, mungkin akan terjadi pertanyaan. Bukankah jika hamil maka apapun yang dikeluarkan oleh vagina adalah darah nifas? Ternyata bukan demikian.

“Jika janin bayi telah keluar dari mulut rahim lalu disusul oleh keluarnya darah, maka hukum darah yang keluar dari rahim itu tergantung pada bentuk janin yang dilahirkan, jika janin yang keluar ini telah berbentuk manusia dengan memiliki kepala, dua tangan, dua kaki serta anggota tubuh lainnya, maka darah yang keluar ini adalah darah nifas yang menghalangi seorang wanita mengerjakan shalat dan puasa sampai datangnya masa suci, yaitu terhentinya darah nifas tersebut. Sedangkan jika janin yang dilahirkan itu belum memiliki bentuk-bentuk manusia, maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas yang tidak menghalanginya untuk shalat dan puasa kec-uali jika keluarnya darah ini sesuai dengan waktu yang biasanya ia mendapat haidh, jika demikian halnya maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa hingga habisnya masa haidh yang biasanya ia alami. 
( Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/292 )

Selain itu, Terkait status darah keguguran yang dialami wanita, para ulama memberikan rincian sebagai berikut:
Pertama, keguguran terjadi ketika janin berada pada dua fase pertama, yaitu fase nutfah yang masih bercampur dengan mani, berlangsung selama 40 hari pertama dan fase ‘alaqah, yaitu segumpal darah yang berlangsung selama 40 hari kedua. Sehingga total dua fase ini berjalan selama 80 hari.

Apabila terjadi keguguran pada dua fase ini, ulama sepakat bahwa status darah keguguran tidak dihukumi sebagai darah nifas. Para ulama menghukumi darah ini sebagai darah istihadhah. Sehingga hukum yang berlaku untuk wanita ini sama dengan wanita suci yang sedang mengalami istihadhah, sehingga tetap wajib shalatpuasa, dst. Dan setiap kali waktu shalat, wanita ini disyariatkan untuk membersihkan darahnya dan berwudhu. Jika ada darah yang keluar di tengah shalat, tetap dilanjutkan dan status shalatnya sah, serta tidak perlu diulang.
Kedua, keguguran terjadi pada fase ketiga, yaitu fase mudhghah, dalam bentuk gumpalan daging. Pada fase ini, mulai terjadi pembentukan anggota badan, bentuk, wajah, dst. Fase ini berjalan sejak usia 81 hari sampai 120 hari masa kehamilan.
Jika terjadi keguguran pada fase ini, ulama merinci menjadi dua:
1.   Janin belum terbentuk seperti layaknya manusia. Pembentukan anggota badan masih sangat tidak jelas. Hukum keguguran dengan model janin semacam ini, statusnya sama dengan keguguran di fase pertama. Artinya, status wanita tersebut dihukumi sebagai wanita mustahadhah.
2.   Janin sudah terbentuk seperti layaknya manusia, sudah ada anggota badan yang terbentuk, dan secara dzahir seperti prototype manusia kecil. Status keguguran dengan model janin semacam ini dihukumi sebagaimana wanita nifas. Sehingga berlaku semua hukum nifas untuk wanita ini.
Oleh karena itu, jika mengalami keguguran pada usia 81 sampai 120 hari, untuk memastikan apakah statusnya nifas ataukah bukan, ini perlu dikonsultasikan ke dokter terkait, mengenai bentuk janinnya.
Fase ketiga, ketika keguguran terjadi di fase keempat, yaitu fase setelah ditiupkannya ruh ke janin. Ini terjadi di usia kehamilan mulai 121 hari atau masuk bulan kelima kehamilan. Jika terjadi keguguran pada fase ini, ulama sepakat wanita tersebut dihukumi sebagaimana layaknya wanita nifas.
Disadur dari fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (21/437)


Apa saja yang boleh dilakukan oleh wanita yang istihadhoh
·         Wanita yang istihadoh hukumnya sama dengan wanita yang suci. Maka tidak diharamkan apapun padanya.
·         Wanita yang istihadhoh tetap wajib melakukan sholat, puasa dan lainnya layaknya wanita yang suci.
·         Tidak wajib bagi wanita istihadhoh mengambil air wudhu setiap kali akan sholat.
·         Boleh saja berhubungan sepanjang tidak berbarengan dengan masa haidh.
·         Boleh beri’tikaf di masjid jika tidak dikhawatirkan akan menetes.

Semoga bermanfaat.


Sumber :
Syaikh Imam Zaki Al Barudi. Tafsir Wanita. 2010. Pustaka Al kautsar. (bab istihadhoh halaman 59-62)