Tentang tiga maret,
72 tahun yang lalu, ada seorang bayi laki-laki menangis.
Di sudut yang lain, beberapa orang bahagia, pun mungkin sambil menangis.
70 tahun kemudian, lelaki itu telah berusia
senja. Ia kembali menangis. Di sudut yang lain, ada seorang perempuan juga menangis, dan seorang
laki-laki lain bahagia, pun mungkin sambil menangis.
71 tahun kemudian, ada seorang bayi laki-laki
menangis. perempuan itu juga menangis (namun) bahagia dan laki-laki di sampinya
juga bahagia sambil menangis. Di sudut yang lain, lelaki senja itu bahagia, pun
mungkin sambil menangis.
Dalam setiap
roda kehidupan, ada kalanya bagian atas kita pijak dan bagian bawah pun tak
luput kita injak. Berlaku untukku, untukmu.
Ini tentang tiga maret. Penanggalan berdasarkan kalender masehi. Terlalu
berlebihan rasanya menyebut tanggal ini sebagai tanggal yang special. Karena aku
tidak pernah diajarkan untuk menkhususkan tanggal ini sebelumnya. Lalu mengapa
kutulis ini?
Sebuah takdir. Bapak lahir pada tanggal 3 maret 1943, tanggal yang aku
ketahui saat aku kanak-kanak. Dan aku maknai indah setelah aku remaja. Namun setiap
tahunnya, makna indah ternyata hanya dalam anganku saja. Dan mungkin di
sebagian doaku. Karena bapak yang punya tanggal itu biasa saja menjalaninya. Hanya
kadang berceloteh kecil, “bapak uwes 60 tahun nduk, 3 tahun maneh usia krusial”.
Serrr…ingat sekali aku kala itu. Sebuah tanggal yang ternyata jadi pengingat
akan akhir dari kehidupan ini. Bapak juga selalu ingat akan usianya berdasarkan
kalender hijriah. Hebat!! Karena aku tak pernah sekalipun melakukannya.
Bapak adalah laki-laki pertama bagiku, cinta pertama bagiku,hheee
(ngutip pepatah kebanyakan). Tapi itu memang benar, tak ada laki-laki lain (yang
masih hidup) yang lebih kuhormati, kucintai, kuanggap keberadannya, kudengar
suaranya, kulakukan perintahnya selain beliau. Selain kewajiban yang memang
harus kulakukan menurut aturan Islam, fitrah dan naluriku telah menggerakkan
segalanya. Mengapa?
Karena bapaklah yang suka menggendongku saat aku kecil, mengajakku
jalan-jalan. Membelikan ini itu tanpa dan dengan kuminta. Mengajariku mengaji,
menyuruhku sholat. Bapak juga yang menceritakan tentang luasnya dunia kepadaku.
Bapak yang mengantarkanku pada dunia buku dan sastra. Bapak juga yang mengenalkanku pada kehidupan yang dinamis.
Bapak pula yang penuh peluh dan keringat demi mencukupi kebutuhan kami,
keluarganya. Bapak yang bertindak tanpa ingin kami mengetahui betapa lelahnya
hari yang dilaluinya.
Seringkah kita pikirkan tentang nya? Seorang laki-laki yang berani
bertaruh untuk kehidupan kita? Seorang laki-laki yang berani memperjuangkan
masa depan kita kelak? Dan yang paling berat baginya, dia menanggung dosaku
sebelum aku menikah bila aku melakukan dosa. Ya Robbi….ampunilah dosa-dosa
bapak kami…
Itulah bapakku, hanya secuil yang mampu kuungkapkan tentangnya. Dan kini
bapak sudah tua. Rindu ia saat gagah dan terlihat muda. Dan aku masih digendong
di badannya yang gempal namun sangat nyaman. Love u bapak…
Takdir kedua, aku menikah dengan suamiku pada tanggal 3 maret 2013. Saat
bapak berusia 70 tahun. Dan kala itu ia sakit keras. Sebuah tangis dan bahagia
yang benar-benar melebur menjadi satu. Suamiku, lelaki keduaku. Cinta keduaku. Di
tanggal itulah sebuah amanah telah berpindah tangan. Bapak telah menyerahkan
segala tanggung jawab lahir dan batin kepadanya, suamiku. Seorang laki-laki
yang harus kuhormati dan kupatuhi perintahnya melebihi perintah bapak dan
ibuku. Mengapa? Karena ini perintah agamaku. Seorang laki-laki yang telah
bersedia menanggung kehidupanku seutuhnya. Suamikulah yang kini akan ditanya
tentang segala amal perbuatanku. Ia yang juga akan ikut menanggung dosa yang
kulakukan.
Dan Allah telah memberikan suami yang begitu luar biasa. Ia membuatku
makin istimewa saat kutanggalkan status singelku dan menjemput status menjadi
seorang istri dan ibu. Ia, seorang laki-laki yang meneruskan pelajaran bapak. Ilmu
akhirat menjadi prioritas, agama menjadi pondasi dan pegangan. Duhai suamiku,
semoga Allah menjagamu selalu dalam kebaikan.
Takdir ketiga, aku melahirkan anakku di tanggal 3 maret 2014. Tanggal
yang sangat melengkapi kebahagiaan kami saat itu. Bayi mungil, sholeh, lucu,
menggemaskan yang mampu membuatku bertaruh dengan apapun jua. Bila mengingat
setahun yang lalu, kematian seolah-olah mengintai di jarak 1 cm di belakangku.
Laki-laki ini, anakku, adalah
sebuah harapan. Karena ialah, semangat kami makin meletup. Untuknya, sebuah
masa depan telah kusiapkan. Mungkin ini yang telah dilakukan bapak dan ibuku
ketika aku lahir.
Laki-laki ini, sebuah amanah yang sangat besar. Baik buruknya ia
salahsatunya tergantung padaku. Ialah langkah awal aku dan suamiku untuk
membentuk keluarga islami. Dan darinya semoga kami mampu membangun peradaban
Islam bersama saudara seiman.
Tiga maret dengan tiga lelaki bersanding di hidupku. Tiga laki-laki yang
membuat hidupku serasa utuh. Namun, rendah sekali jika hanya bahagia memiliki
ketiganya karena dunia. Padahal, tiga lelaki inilah nanti yang akan ditanyai
tanggung jawabnya kepadaku.
Bapakku, suamiku, anak lelakiku, dan saudara laki-lakiku turut ditanyai
perihal perbuatanku di dunia. Sampai hatikah mereka yang telah memberikan cinta
kasihnya kepadaku namun kubayar dengan melemparkan mereka ke neraka. Astaghfirullahal
‘adzim.
Tiga lelaki tiga generasi. Dari bapak aku selalu megingat tentang
sejarah dan belajar tentang masa lalu. Dulu ia pernah mengalami masa-masa yang
sedang kujalani. Dan kelak, aku pun (mungkin) akan menginjak di usianya. Bersama
suamiku, semua mimpi akan kami nyatakan. Dengannya, hidup serasa lebih
bermakna. Ia yang melengkapi separuh hidupku. Menggapai Ridho Allah sebenarnya
tinggal selangkah kugapai. Karena dengan taat padanya, pintu surgaNya terbuka
lebar untukku. Untuk anakku, investasi akhirat harus kupersiapkan. Dialah
salahsatu amanah terbesar bagiku. Menjadikannya menjadi anak yang sholeh adalah
lebih dari segala-galanya. Menjadikan dia mujahid adalah mimpi besarku. Semoga Allah
selalu menjaganya untuk selalu berilmu dan berjuang di jalan Allah.
Ini tentang tiga maret yang mungkin akan kuingat ketiganya setiap tiga
maret hadir. Harapan terbesarku adalah aku mampu membahagiakan ketiganya di
dunia dan di akhirat. Minimalnya, tidak akan kubawa mereka menanggung dosaku.